Haruskah Menambah Mata Pelajaran Etika Demi Mengubah Perilaku Anak Murid?
Tulisan ini adalah murni pandangan penulis. Penulis tidak bermaksud sedang menggurui pun menganggap pemikirannya sebagai satu-satunya solusi dalam menghadapi perubahan zaman terutama dalam pembentukan karakter dan budi pekerti anak murid.
Minggu lalu, penulis tersenyap saat membaca obrolan
di Whatsapp. Dalam obrolan itu, penulis tergelitik untuk menulis coretan
sederhana ini terkait tanggapan guru yang mengatakan moral anak murid makin
memprihatinkan. Menurutnya, Kurikulum saat ini belum mampu membentuk karakter
dan moral yang baik pada anak murid. Sehingga, penting menambah mata pelajaran
ETIKA dalam konten kurikulum.
Penulis lalu mengetik kata etika pada kamus
besar bahasa Indonesia. Di sana saya mendapatkan definisi kata ‘etika’ ilmu
tentang apa yang baik dan apa yang buruk; dan tentang hak dan kewajiban moral
(akhlak). Penulis lalu mencoba menelusuri kata ‘akhlak’. Dalam KBBI dijelaskan
bahwa akhlak adalah kelompok kata benda yang artinya budi pekerti; kelakuan.
Penulis kemudian meninjau muatan kurikulum
pendidikan Indonesia yakni kurikulum KTSP 2013. Dalam kurikulum tersebut
ditemukan bahwa setiap mata pelajaran baik tingkat dasar maupun menengah terdapat
muatan Kompetensi Inti (KI) dan Kompetensi Dasar (KD). Kompetensi inti memiliki
empat (4) cakupan kompetensi yaitu KI 1 tentang kompetensi spiritualitas dengan
rumusan Mengahayati dan mengamalkan ajaran agama yang dianut, KI 2
tentang kehidupan sosial peserta didik dengan rumusan kompetensi Menghayati
dan mengamalkan perilaku jujur, disiplin, tanggungjawab, peduli (gotong royong,
kerjasama, toleran, damai), santun, responsif dan pro-aktif dan menunjukan
sikap sebagai bagian dari solusi atas berbagai permasalahan dalam berinteraksi
secara efektif dengan lingkungan sosial dan alam serta dalam menempatkan diri
sebagai cerminan bangsa dalam pergaulan dunia. Sementara dua Kompetensi
berikutnya adalah kompetensi pengetahuan (kognitif) dan kompetensi keterampilan
(psikomotor).
Dari hasil penelusuran di atas, penulis
memiliki asumsi bahwa sesungguhnya ‘etika’ itu sendiri telah termaktub dalam
kurikulum saat ini. Etika telah menjadi konten pembelajaran mata pelajaran Pendidikan
Agama dan Budi Pekerti (PABP) dan juga mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan (PPKn). Kedua mata pelajaran tersebut merupakan mata pelajaran
kelompok A atau mata pelajaran wajib yang dipelajari anak murid baik pada level
sekolah dasar maupun sekolah menengah; baik sekolah formal maupun non formal;
entah itu sekolah dalam negeri pun sekolah luar negeri.
Bahkan semua mata pelajaran memiliki penilaian
terhadap nilai spiritualitas dan sosial anak murid. Selain itu, pemerintah juga
mendorong penumbuhan dan penguatan karakter anak murid melalui kegiatan yang
bisa dipadukan dalam kegiatan intra-kurikuler, ko-kurikuler ataupun Ekstra-kurikuler.
Kedua kegiatan tersebut yakni Penguatan pendidikan karakter dan Gerakan
Literasi Sekolah. Pemerintah melalui Peraturan Presiden nomor 87 tahun 2018
tentang Penguatan Pendidikan Karakter menunjukan keseriusannya dalam
memperbaiki karakter dan budi pekerti anak murid sebagai generasi penerus
bangsa. Dorongan itu juga diejawantahkan lewat Permendikbud Nomor 20 Tahun 2018
tentang Penguatan Pendidikan Karakter pada Satuan Pendidikan Formal.
Apa yang diharapkan dari kedua peraturan di
atas adalah mewujudkan profil Pelajar Pancasila yang beriman, bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia, berkebinekaan global, memiliki sikap
bergotong royong, kreatif, bernalar kritis, dan mandiri. Pertanyaan refleksinya
adalah apakah sekolah telah menjalankan kurikulum dengan baik dalam pembelajaran
abad 21 yakni tercapainya profil Pelajar Pancasila?
Refleksi
Filosofi Pendidikan Ki Hadjar Dewantara (KHD)
Jauh sebelum Indonesia merdeka, bapak
pendidikan Indonesia merumuskan filosofi sebagai dasar pendidikan. Ki Hadjar menjelaskan bahwa tujuan pendidikan yaitu: "menuntun segala kodrat yang ada pada anak-anak, agar mereka
dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya baik sebagai
manusia maupun sebagai anggota masyarakat. Oleh sebab itu, pendidik itu
hanya dapat menuntun tumbuh atau hidupnya kekuatan kodrat yang ada pada
anak-anak, agar dapat memperbaiki lakunya (bukan dasarnya) hidup dan tumbuhnya
kekuatan kodrat anak” (modul 1, Pendidikan Guru Penggerak).
Sebagai
Guru atau pendidik, KHD mengatakan ada tiga (3) hal yang perlu dilakukan dalam
mendidik yakni menuntun, memahami kodrat alam/zaman dan menghamba kepada
anak murid. Dalam menuntun murid, guru ibarat pak tani yang bisa menyiapkan
lahan yang baik untuk menumbuhkan benih sesuai dengan kodratnya, memberikan
pemupukan dan pengairan yang cukup untuk anak murid dan memberikan kesempatan
kepada benih yang ditanam untuk bisa tumbuh sesuai dengan kodratnya namun tetap
memonitor agar tetap menemukan kemerdekaan dalam belajar.
Dalam
mendidik, guru harus memahami kodrat anak murid baik kodrat alam maupun kodrat
zaman. Dalam konteks kodrat alam anak murid, guru mesti memahami lingkungan
dimana murid dilahirkan dan dibesarkan. Guru memahami bahwa setiap anak murid
terlahir dengan bakat dan talenta yang berbeda sebagai anugerah Tuhan. Sebagai
guru, memahami kodrat zaman tentu hal yang penting untuk dipahami oleh guru.
Anak murid yang terlahir di abad 21 tentu memiliki tuntutan kemampuan atau skill
yang sesuai dengan perkembangan zaman. Salah satunya, kecakapan digital
merupakan tuntutan kodrat zaman yang mestinya dipahami betul oleh guru dalam
proses pembelajaran.
Guru
menurut KHD harus bisa menghamba kepada anak murid. Menghamba dalam hal ini
menurutnya adalah guru harus mampu memainkan multi peran. Guru tidak hanya
mengajar dan mendidik, guru adalah orang tua murid. Guru di satu sisi adalah teman,
rekan atau mitra anak murid. Semua peran
itu tentu akan mampu membentuk profil Pelajar Pancasila yang tentunya memiliki
karakter dan budi pekerti yang luhur sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam
Pancasila.
Sudahkan Guru Menjalani konten Kurikulum Pendidikan
Indonesia?
Saat
ini pemerintah dalam hal ini Kementrian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan
teknologi (KemdikbudristeK) sedang giatnya merancang program pendidikan yang
berorientasi pada kecakapan pembelajaran abad 21. Di bawah selogan Merdeka
Belajar, Kemdikbudristek meluncurkan beberapa produk program yang berkiblat
pada hasil akhir terwujudnya profil Pelajar Pancasila.
Beberapa
program dan kebijakan semuanya berorientasi pada semua ekositem sekolah sebagai
eksekutor kurikulum. Melalui program Pendidikan Guru Penggerak, Sekolah Penggerak,
dan Peluncuran platform Merdeka Mengajar, semua ekosistem sekolah diarahkan
untuk bisa menghasilkan profil Pelajar Pancasila.
Guru
sebagai perancang, pelaksana, dan evaluator pembelajaran diarahkan untuk bisa
merancang, melaksanakan dan mengevaluasi pembelajaran yang berpihak pada murid.
Berpihak pada murid artinya pembelajaran yang sesuai dengan kesiapan, minat,
kebutuhan dan gaya belajar anak murid. Dalam pelaksanaannya, guru tidak lagi
sebagai penceramah. Guru dituntut untuk mendesain pembelajaran berbasis proyek,
dimana hasil dari pembelajaran dalam bentuk karya atau produk.
Dalam
pembentukan karakter dan budi pekerti, guru tidak lagi mendewakan aturan, tidak
lagi menjadi eksekutor atau penghukum. Guru hadir di sekolah dan di dalam kelas
dengan menumbuhkan budaya positif. Membudayakan sesuatu yang positif tidak
dengan unsur memaksa akan tetapi dengan memberikan pemahaman dan juga melalui
tindak nyata (memberi contoh) untuk menanamkan sesuatu yang positif. Menanamkan
keyakinan pada anak murid tentang alasan dan tujuan melakukan sesuatu serta
mengajak mereka untuk bisa mempertanggung jawabkan setiap kegiatan yang
dilakukan.
Guru
tidak lagi mengutamakan pembelajaran klasik dalam kelas, tetapi guru harus
mampu mengoptimalkan dan memadukan pembelajaran intra-kurikuler, ko-kurikuler
dan esktra-kurikuler. Guru harus mampu mendesain program yang berdampak pada murid.
Memahami dan menyadari secara penuh (mindfulness) akan kebutuhan belajar
murid dengan selalu berpikir berbasis aset (Asset Based-Thinking) dan
meninggalkan pola pemikiran berbasis masalah akan mampu menghasilkan anak murid
yang memiliki karakter dan budi pekerti yang baik. Memikirkan untuk menambah
mata pelajaran etika, merupakan salah satu wujud dari pemikiran gaya lama atau Problem
Based-Thinking.
Comments
Post a Comment